Di tengah hamparan hijau Kalimantan Barat, masyarakat adat Dayak khususnya Suku Dayak Kanayatn (Dayak Ahe) memiliki warisan leluhur yang disebut Timawakng (dalam bahasa kanayatn) atau dalam bahasa melayu disebut Tembawang. Tembawang bukan sekedar lahan biasa, melainkan bekas permukiman atau kebun lama yang dulunya menjadi tempat tinggal masyarakat. Walau kini telah ditinggalkan, lahan itu tetap dijaga dan dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai bagian dari tanah adat atau hutan adat yang penuh makna.
Tembawang memiliki ciri khas yang membedakannya dari lahan lain. Di sana tumbuh berbagai jenis pohon buah-buahan dan tanaman bernilai ekonomi, seperti durian, langsat, rambutan, tengkawang, dan cempedak. Tumbuhan ini tumbuh disengaja (ditanam) atau tidak disengaja , artinya tumbuhan ini biasanya tumbuh tanpa disengaja dari biji buah yang dibuang sembarangan disekitar rumah. Selanjutnya, setelah menjadi tembawang Lahan ini dikelola bersama oleh kelompok masyarakat atau keluarga besar dan tidak boleh dibuka secara sembarangan karena dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dijaga.
Singkatnya, Tembawang adalah wujud nyata hubungan harmonis antara manusia dan alam, sebuah sistem agroforestri tradisional yang mengajarkan pentingnya menjaga warisan leluhur demi keseimbangan hidup di masa kini dan masa depan.
