Pohon tengkawang tumbuh subur di hutan hujan tropis Kalimantan Barat, terutama di daerah pegunungan dan perbukitan dengan kelembapan tinggi. Pohon ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30–50 meter, dengan batang besar dan kokoh. Buahnya berbentuk bulat lonjong dengan sayap-sayap kecil yang membantu biji tersebar oleh angin saat jatuh dari pohonnya. Pohon tengkawang tidak berbuah setiap tahun, melainkan dalam siklus tertentu, biasanya setiap tiga hingga lima tahun sekali, sehingga masa berbuahnya sangat dinantikan oleh masyarakat sekitar hutan.
Bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat, tengkawang memiliki nilai ekonomi, sosial, dan budaya yang tinggi. Saat musim buah tiba, warga akan mengumpulkan biji tengkawang yang jatuh di hutan untuk kemudian dikeringkan dan diproses menjadi minyak tengkawang. Minyak ini memiliki tekstur lembut dan beraroma khas, serta digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan pangan, kosmetik, obat tradisional, dan industri. Dalam perdagangan internasional, minyak tengkawang dikenal sebagai “Borneo tallow nut oil” yang memiliki nilai ekspor tinggi.
Namun, keberadaan pohon tengkawang kini menghadapi tantangan serius akibat deforestasi dan pembukaan lahan yang tidak terkendali. Banyak habitat tengkawang yang berkurang karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau pemukiman. Untuk itu, berbagai upaya pelestarian dilakukan oleh pemerintah, lembaga lingkungan, dan masyarakat adat, antara lain melalui penanaman kembali pohon tengkawang, pembentukan hutan adat, serta pemanfaatan hasil hutan secara lestari.
Buah tengkawang bukan sekadar hasil hutan, tetapi juga simbol hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dari bijinya yang kecil, lahirlah sumber kehidupan, ekonomi, dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Melestarikan tengkawang berarti menjaga keberlanjutan hutan Kalimantan Barat dan masa depan generasi mendatang.

