Secara etimologis, kata “Naik Dango” berasal dari dua kata, yaitu “naik” yang berarti mendaki atau menaiki, dan “dango” yang berarti lumbung padi. Dengan demikian, Naik Dango secara harfiah berarti menaiki lumbung padi, yang melambangkan kegiatan memasukkan padi hasil panen ke dalam lumbung sebagai tanda keberhasilan bercocok tanam. Lumbung padi atau dango bagi masyarakat Dayak Kanayatn memiliki makna sakral karena dianggap sebagai tempat yang menyimpan sumber kehidupan.
Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap tahun, terutama setelah musim panen, pada sekitar bulan April atau Mei. Pelaksanaan Naik Dango dipusatkan di dango utama, yang menjadi tempat berlangsungnya kegiatan adat dan keagamaan. Upacara ini dipimpin oleh panyangahatn atau tokoh spiritual adat yang bertugas memimpin doa dan ritual persembahan. Mereka memanjatkan doa kepada Jubata dan roh leluhur agar senantiasa memberikan berkah, keselamatan, serta hasil panen yang lebih baik di masa mendatang.
Dalam pelaksanaannya, berbagai sesajen disiapkan, seperti padi, beras kuning, ayam kampung, telur, uang logam, dan hasil bumi lainnya. Semua itu melambangkan rasa syukur serta permohonan restu kepada Sang Pencipta. Setelah prosesi adat selesai, masyarakat melanjutkan kegiatan dengan berbagai pertunjukan budaya, antara lain tarian tradisional, musik gong dan gendang, permainan rakyat, serta pameran hasil kerajinan tangan. Seluruh masyarakat Dayak Kanayatn dari berbagai daerah turut hadir untuk meramaikan perayaan ini dengan suasana penuh kebersamaan dan sukacita.
Upacara Naik Dango tidak hanya bernilai religius, tetapi juga memiliki makna sosial dan ekologis yang mendalam. Melalui tradisi ini, masyarakat Dayak Kanayatn diajarkan untuk selalu bersyukur, hidup rukun, menghormati alam, serta menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Dengan demikian, Naik Dango menjadi cerminan kearifan lokal yang memperkuat jati diri budaya serta memperkaya warisan kebudayaan bangsa Indonesia.
